17 Mar 2011

Wayang, Asal Usul Sejarah serta perbedaannya

WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh punakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Usul

Krukshetra Wars
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.


Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakimpoi berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakimpoi, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakimpoi karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit. Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Perbedaan Wayang dalam Budaya Hindu dan Di Masa Islam

Cerita Mahabarata memang berasal dari India yang notabene adl pemeluk agama Hindu. Tetapi Mahabarata juga sudah dikenal di Indonesia sejak sebelum Sunan Kalijaga menciptakan pementasan Wayang Kulit untuk pertama kali. Pada waktu itu Sunan Kalijaga memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam cerita mahabarata, seperti :

Sema
1. Pusaka andalan para Pandawa adalah Jamus Kalimasada = Kalimat Sahadat...

2. Penanggalan yg digunakan oleh para Pandawa adalah penanggalan hijriah, sedangkan kurawa menggunakan penanggalan India (lunisolar) yg dalam 1 tahun terdapat selisih 11 hari (bisa dibuktikan berdasarkan cerita mahabarata)...

3. Dewi Drupadi dalam cerita mahabarata yg asli dr India merupakan istri dari kelima pandawa (yudhistira, bima, arjuna, nakula, sadewa), sedangkan dalam mahabarata versi Indonesia merupakan istri dari Yudhistira karena dalam Islam tidak mengenal Poliandry.

4. Dalam Mahabarata asli India dewa tertinggi adalah (Syiwa, Wisnu, dan Brahma). Sedangkan dalam Mahabarata versi Indonesia terdapat karakter Dewa Ruci (dikenal dengan nama Sang Hyang Wenang atau Sang Hyang Tunggal) yg merupakan dewa dari para dewa.

5. Yang menjadi ciri khas pengaruh Islam dalam pewayangan adalah diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar (Sang Hyang Ismaya) dalam cerita mahabarata versi Indonesia merupakan kakak dari dewa Syiwa. Semar dalam versi Indonesia diceritakan menolak untuk dijadikan raja dari para dewa di kahyangan dan lebih memilih untuk menjadi manusia biasa sebagai batur (pembantu) dari para pandawa.  Disini diceritakan bahwa Semar jauh lebih sakti dari dewa Syiwa, setiap dewa Syiwa mau menghukum Pandawa, Semar selalu membela pandawa dan dewa Syiwa benar-benar takut apabila disuruh berhadapan dengan Semar (dalam cerita mahabarata versi Indonesia, dewa Syiwa digambarkan sebagai karakter egois yang selalu ingin menang sendiri)

6. Pada sekitar abad 15, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Nama-nama candi peninggalan kerajaan Kalingga dan nama tempat yg terletak di dataran tinggi Dieng di Kab Wonosobo dan  Banjarnegara semuanya berasal dari  dunia pewayangan. misalnya :

1. Candi Gatotkaca, candi Arjuna, candi Semar, candi Srikandi (istri arjuna), candi Puntadewa (yudhistira), candi Sembadra (istri arjuna), candi Bima.

2. Kawah Candradimuka (bener kawah), Sumur Jalatunda (kaldera dengan tebing yg curam dan danau di dasarnya)

3. Goa Semar (goa vulkanik dengan bau belerang yg sangat menyengat, serasa berada di puncak gunung Merapi), telaga Merdada (danau vulkanik)

Masyarakat setempat beranggapan bahwa dieng plateau adalah tempat asal muasal dari cerita pewayangan...


Semoga bermanfaat .......




Share on :
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

7 comments:

Anonim mengatakan...

mantap.....lanjut sharenya ya mas admin

Ladida Cafe mengatakan...

hmm, saya kira malah wayang pertama dari India . , makasii infonya

Unknown mengatakan...

@Ladida: sama sama...mudah mudahan bermanfaat ya

cokro maqomi Attuguni mengatakan...

sip..sipp,bisa buat studi banding antara fersi jawa dg fersi india,sip..sipp,bisa buat studi banding antara fersi jawa dg fersi india,

Anonim mengatakan...

bingung aku

Korel mengatakan...

aku pon pusing bila baca bingung sedikit aja loz..

Choerudin mengatakan...

bang saya tertarik dengan nilai-nilai Islam yang dicantumkan oleh para wali dalam pewayangan spt : Pusaka andalan para Pandawa adalah Jamus Kalimasada = Kalimat Sahadat.. spt asal kata dari nakula, sadewa, dsb. kan masih banyak lagi.. kl punya info / referensinya tolong di share ya.. email aja ke choerudin@yahoo.com atau hubungi via fb :http://www.facebook.com/choerudin

Posting Komentar

Silahkan komentar anda baik berupa saran atau cacian yang tetntunya bersifat membangun agar blog ini lebih berbobot dan bermanfaat

 
© Copyright BANGDEX NEWS 2012 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.